Banyak sekali pemahaman-pemahaman
jama'ah LDII yang sangat jauh menyimpang dan menyesatkan. Berikut kami paparkan
beberapa
penyimpangan dan kesesatan pemahaman
jama'ah LDII sebagai penerang atau penjelasan lebih detail semoga dapat
bermanfaat terutama bagi mereka yang sedang bingung dan ragu karena dibujuk
oleh kelompok sesat ini. semoga kaum Muslimin akan memahami dan berhati-hati
terhadap bujukan dan rayuan berbagai macam aliran yang menyimpang.
Pokok atau pangkal kesesatan Islam
Jama'ah/Lemkari/LDII (sekarang: Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia) yang utama
terletak pada otoritas mutlak bagi imam yang dibai'at, yaitu H. Nurhasa Ubaidah
Lubis (Madigol) dengan nama kebesarannya: Al-Imam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir.
Sekarang keamirannya dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Abdul Dhohir.
Mereka menafsirkan serta
mengimplementasikan Al-Qur'an dan hadits dengan cara dan keinginan mereka
sendiri. Sejak awal, semua anggota sudah diarahkan atau didoktrin untuk hanya
menerima penafsiran ayat dan hadits yang berasal dari imam/amirnya. Dan mereka
menyebutnya dengan istilah MANQUL. Jadi, semua anggota Islam
Jama'ah/Lemkari/LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak
bersumber dari imam/amir karena penafsiran yang tidak bersumber dari imam
dikatakannya semua salah, sesat, berbahaya dan tidak manqul. Doktrin ini
diterima sebagai suatu keyakinan oleh semua anggota Islam Jama'ah/Lemkari/LDII.
Maka sudah tentu pendapat atau
pemahaman yang seperti ini tidak dapat dibenarkan. Karena Al-Qur'an dan Hadits
tidak ada yang menyebutkan bahwa otoritas/kekuasaan mutlak untuk menafsirkan
dan mengimplementasikan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits berada di tangan imam.
Amir/imam mereka (Islam Jama'ah/Lemkari/LDII)
dalam rangka mendoktrinkan anggotanya soal imamah menggunakan Al-Qur'an surat
Al-Isra': 71) yang artinya:
"Pada hari Kami memanggil
tiap-tiap manusia dengan Imam mereka." (Q.S.Al-Isra':71)
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah
Lubis(Madigol): Pada hari kiamat nanti setiap orang akan dipanggil oleh Allah
dengan didampingi oleh imam mereka yang akan menjadi saksi atas semua amal
perbuatan mereka di dunia. Kalau orang itu tidak punya imam dikatakannya pada
hari kiamat nanti tidak ada yang menjadi saksi baginya sehingga amal ibadahnya
menjadi sia-sia dan dimasukkan kedlam neraka. Oleh karena itu, katanya semua
orang Islam harus mengangkat atau membai'at seorang imam untuk menjadi sksi
bagi dirinya pada hari kiamat. Dan jama'ah harus taat kepad imamnya agar nanti
disksikan baik oleh imam dan dimasukkan ke dalam surga, dan orang yang paling
berhak menjadi Imam adalah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol), katanya. Karena
dia dibai'at pada tahun 1941, maka orang-orang yang mati sebelum tahun 1941,
berarti mereka belum berbai'at, jadi pasti masuk neraka, katanya.
Menurut penafsiran pada pemahaman
yang lurus (dapat dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir):
Lafazh imam dalam ayat itu, menurut
Mujahid dan Qatadah artinya ialah: nabiyyihim "nabi mereka." Sehingga
sebagian ulama salaf berkata, bahwa ayat ini menunjukan kemuliaan dan keagungan
para pengikut hadits (Ash-habul-Hadits), karena pada hari kiamat nanti mereka
akan dipimpin oleh Rasulullah SAW (bukan dipimpin oleh Nur Hasan/Madigol, orang
Jawa Timur yang baru lahir kemarin).
Sedangkan Ibnu 'Abbas mengatakan
bahwa yang dimaksud 'imam' di dalam ayat itu, ialah bikitaabi a'maalihin
"Kitab catatan amal mereka", seperti yang disebutkan dalam surah
Yasin:12 yang berbunyi :
"Dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam kitab yang nyata."
Jadi, menurut dua keterangan ini,
pada hari kiamat tiap-tiap orang akan dipanggil oleh Allah dengan didampingi
oleh nabi-nabi mereka dan juga kitab- kitab catatan amal mereka. Siapa saja
yang ingin meneliti lebih jauh dalam masalah ini, silahkan periksa Tafsir Ibnu
Katsir juz III hal. 52. Yang pasti di situ tidak ada penafsiran yang tidak ada
landasannya sama sekali alias ngawur seperti penafsiran si Madigol.
Berikutnya penafsiran hadits yang
berbunyi:"
Tidak halal bagi tiga orang yang
berada di bumi falah (kosong), melainkan mereka menjadikan amir (pemimpin)
kepada salah satu mereka untuk memimpin mereka." (HR.Ahmad).
Hadits ini terdapat dalam kitab
himpunan hadits koleksi Islam Jama'ah/LDII yang bernama "Kitabul-Imarah"
pada halaman 255 dan dicantumkan tanpa sanad yang lengkap, jadi langsung dari
sumber utamanya, yaitu Abdullah bin Amr bin Ash. Dari segi penulisan sumber
hadits saja mereka itu tidak faham.
Menurut penafsiran Nur Hasan Ubaidah
Lubis (Madigol) tentang hadits di atas adalah sbb:
- Setiap Muslim di dunia ini, tidak halal hidupnya alias
haram. Makannya haram, minumnya haram, bernafasnya haram dll.
- Dan setiap Muslim yang hidupnya masih haram karena
belum bai'at, maka harta bendanya halal untuk diambil atau dicuri, dan
darahnyapun halal, karena selama ia belum bai'at mengangkat seorang iamam,
setatusnya sama dengan orang kafir dan islamnya tidak sah.
Penafsiran Nur Hasan (Madigol) ini
jelas menyimpang jauh dari kebenaran dan menyesatkan-pemahaman. Pertama, hadits
ini tidak berbicara mengenai pembai'atan karena di dalamnya tidak ada lafazh
bai'at sama sekali. Hadits ini hanya menyebut soal Amir atau pemimpin dalam
safar/perjalanan. Hal ini ditunjukkan oleh lafazh 'ardh falatin' yang artinya
daerah yang tidak berpenghuni, dan lafazh 'ammaru' yang artinya menjadikan amir
atau mengangkat amir. Di situ tidak ada lafazh 'baaya'uu' yang artinya
membai'at.
Kedua, hadits ini adalah hadits yang
tidak sahih atau hadits dhaif atau lemah karena di dalam sanadnya (lihat kitab:
Al-Ahaditsud Dha'iefah, hal. 56, juz ke-II, nomor hadits 589) ada seoarang yang
bernama Ibnu Luhai'ah yang dilemahkan karena hafalannya yang buruk. Dan para
ulama ahlul hadits sepanjang masa, dari dulu sampai sekarang tidak menghalalkan
penggunaan hadits yang dha'ief sebagai hujah untuk menetapkan suatu kewajiban
dalam beribadah kepada Allah, kecuali hanya dengan hujah yang sahih.
Ini merupakan bukti bahwa Nur Hasan
(Madigol) sebetulnya tidak mengerti ilmu hadits, yang akhirnya menimbulkan
kekacauan pemahaman dan menyesatkan.
Berikutnya, hadits (atsar atau
hadits mauquf yang diucapkan Umar bin Khaththab) yang berbunyi: "Tidak ada
Islam tanpa jama'ah, dan tidak ada jama'ah tanpa imarah, dan tidak ada imarah
tanpa ketaatan." Atsar atau hadits mauquf ini terdapat dalam
Kitabul-Imarah milik Islam Jama'ah/LDII hal. 56-57, yang dicantumkan tanpa
sanad yang lengkap.
Penafsiran menurut Nur Hasan Ubaidah
lubis (Madigol) ialah sbb:
- Islam seseorang itu tidak sah kecuali dengan berjama'ah.
Dan yang dimaksud jama'ah katanya ialah jama'ahnya Nur Hasan (Madigol).
- Jama'ah juga tidak sah kalau tanpa imam. Dan yang
dimaksud iamam ialah Nur Hasan Ubaidah Lubis (Madigol).
- Harusnya Nur Hasa menafsirkan" "Imamah juga
tidak sah tanpa ketaatan." Sesuai dengan urutan penafsirannya pada
point 1 dan 2. Akan tetapi dengan lihai Nur Hasan memutar penafsiran point
3 dengan ucapan : "Ber-Imam atau mengangkat imam atau Bai'at
seseorang itu tidak sah kecuali dengan melaksanakan ketaatan kepada
imam."
Pendapat Nur Hasan Ubaidah Lubis
(Madigol) Ini sudah menjadi aqidah yang diyakini oleh semua pengikutnya.
Padahal, hadits mauquf pun tidak sah dipakai sebagai hujjah, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Hazmin dalam kitab Al-Muhalla juz I hal.51, artinya: "Hadits
mauquf dan hadits mursal, kedua-duanya tidak dapat dipakai sebagai
hujjah."
Imamah atau kepemimpinan dalam Islam
lebih dikenal dengan istilah khilafah. Dan orang yang menduduki jabatan
tersebut, disebut Khalifah. Adapun ta'rif atau definisial-khalifah dari segi
bahasa ialah:"Seorang yang menggantikan orang lain dan menduduki
jabatannya." Sedangkan pengertian menurut sara', ta'rifnya ialah :
"Penguasa yang tinggi."
(lihatMukhtarush-Shihahhal.186). Atau ta'rif syara' yang lain lagi:"Imam
yang tidak ada lagi imam di atasnya." (atau pemimpin tertinggi).
Dalam sebuah hadits sahih,
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
"Adalah Bani Israil dipimpin
oleh para Nabi, ketika seorang Nabi wafat maka digantikan oleh seorang Nabi
yang lain. Dan sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, yang ada adalah para
Khalifah, maka jumlah mereka pun banyak ?" (HR.Muslim)
Imam Nawawi menerangkan hadits ini
dalam syarahnya, beliau berkata:
"Para Nabi di kalangan Bani
Israil memimpin mereka sebagaimana layaknya para penguasa (Umara) memimpin
rakyatnya." (Lihat syarah Muslim juz XII, hal. 231 oleh Imam Nawawi).
Dengan kata lain, para Nabi itu
bukanlah pemimpin sepiritual semata akan tetapi mereka adalah para penguasa
yang melakukan kegiatan siyasah (politik) demi kemaslahatan umatnya di dunia
dan akhirat. Mereka pun melakukan perang untuk melawan musuh- musuh mereka. Dan
seperti itu pula Rasulullah SAW di samping kedudukannya sebagai utusan Allah,
beliau juga seorang militer dan pemimpin tertinggi bagi Daulah Islam yang
pertama.
Jadi, khalifah atau imam dalam
syari'at Islam identik dengan kepemimpinan Negara. Bukan pemimpin sepiritual
dan keberadaannya tidak untuk mensahkan Islam atau keislaman seseorng seperti
yang diucapkan Nur Hasan (Madigol). Tetapi ia (imam) berfungsi untuk
menjalankan pemerintahan berdasarkan syari'at Islam, yaitu Al-Qur'an dan
Sunnah. Hal ini tercermin dengan jelas dalam pidato Abu Bakar r.a., pada saat
pelantikannya menjadi khalifah yang pertama dalam Islam, yang artinya:
"Wahai manusia, sesungguhnya
aku telah dijadikan penguasa atas kalian, bukan berarti aku yang paling baik
diantara kalian, maka jika aku melakukan kebaikan, tolonglah aku. Dan jika aku
melakukan penyimpangan, cegahlah aku. Kejujuran itu merupakan amanat dan
kebohongan adalah khianat. Adapun orang-orang yang lemah diantara kalian justru
kuat dihadapanku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya. Sedangkan
orang-orang yang kuat diantara kalian justru lemah dihadapanku, sampai aku
mengmbil hak-haknya. Jangan sampai seorang dari kalian meninggalkan jihad,
melainkan Allah berikan (jadikan) kehinaan bagi mereka. Taatlah kepadaku selama
aku mentaati Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila menentang Allah, tidak ada
kewajiban bagi kalian mematuhiku?"
(Itmamul-Wafa'fiSiratilKhulafa',hal.16).
Di dalam riwayat lain, ada beberapa
tambahan dalam khutbah beliau ini di antaranya ialah, yang artinya:
"...akan tetapi Al-Qur'an telah
diturunkan, dan Nabi SAW pun telah mewariskan sunnahnya. Wahai manusia,
sesungguhnya aku hanyalah pengikut (muttabi), dan sekali-kali aku tidak
membut-buat peraturan yang baru (bid'ah). - Dalam satu riwayat - Abu Bakar
berkata: Dan apabila kalian mengharpkan wahyu dariku, seperti yang Allah
berikan kepada Nabi-Nya, maka aku tidak memilikinya, karena aku hanyalah
manusia biasa, jadi perhatikan oleh kalian segala tindak- tanduk dan
ucapanku." (Lihat Hayatush-Shahabah juz III, hal. 427).
Dalam khutbahnya, Abu Bakar r.a.
sama sekali tidak menyebut-nyebut dibai'atnya beliau menjadi khalifah adalah
untuk mensahkan Islamnya kaum Muslimin dan beliau juga tidak mengatakan bahwa
siapa saja yang menolak berbai'at, maka Islamnya batal. Akan tetapi beliau Abu
Bakar r.a. menjelskan fungsi imamah atau khalifah dalam syari'at Islam
sebagaimana tersimpul dari khutbah ini, yaitu:
- Beliau telah diangkat menjadi penguasa, seperti
ucapannya: Qod wulliitu 'alaikum. Jadi, kkhalifah itu adalah penguasa,
seperti telah dijelaskan sebelumnya.
- Khalifah bertanggung jawab untuk mengembalikan hak-hak
orang yang lemah dan mengambil hak-hak yang kuat atau kaya. Ini beliau
buktikan dengan memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat.
- Khalifah harus menjunjung tinggi kejujuran sebagai
amanah dan menjauhi ucapan dusta yang merupakan pengkhianatan.
- Menerangkan kepada umat batas-batas ketaatan kepada
khalifah, yaitu sepanjang ia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Artinya,
mentaati dan mematuhi khalifah itu hukumnya wajib selama ia mematuhi
Al-Qur'an dan Sunnah.
- Khalifah tidak boleh membuat-buat peraturan (syari'at)
baru (bid'ah) dalam agama, tetapi ia harus bersikap sebagai muttabi',
yaitu mengikuti aturan syari'at.
- Khalifah tidak dapat menggantikan kedudukan Nabi
sebagai penerima wahyu.
- Khalifah adalah manusia biasa, dan umat senantiasa
harus melakukan kontrol terhadap segala tindak tanduk serta ucapannya.
Dengan kata lain, umat tidak boleh menerima begitu saja segala ucapan dan
perbuatannya.
Dalam sejarah, kita bisa melihat
bahwa Abu Bakar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai khalifah
pengganti Rasulullah SAW sebagaimana layaknya seorang kepala negara. Begitu
pula khalifah-khalifah sesudah beliau, seperti: Khalifah Umar bin Khaththab,
Khalifah Utsman bin Afan, Khalifah Ali bin Abi Thalib, Khalifah Mu'awiyyah bin
Abi Sufyan dan seluruh khalifah dari Bani Umayyah serta Bani 'Abbasiyyah.
Inilah pengertian 'IMAMAH' yang sesungguhnya menurut syari'at Islam. Dari
keterangan dan hujah yang jelas ini, kita bisa menyimpulkan betapa sesat dan
menyimpangnya ajaran kelompok/jama'ah LDII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar